Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Sejak dari pendidikan dasar sampai kuliah, kita sering
mendengarkan penjelasan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Pengertian
tersebut tidak sepenuhnya salah, namun kurang lengkap, sehingga orang akan
menilai bahwa seseorang telah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar jika sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan KBBI, tidaklah
demikian.
Kita mengetahui konsep
tentang ragam bahasa yakni ada ragam formal dan ragam informal. Ragam formal
biasa juga disebut dengan ragam resmi yakni penggunan bahasa dalam situasi
resmi, sedangkan ragam informal/nonformal yang biasa juga disebut dengan ragam
tak resmi yakni penggunan bahasa dalam situasi tidak resmi. Dalam situasi
formal atau resmi ini bahasa Indonesia yang digunakan seperti dalam jurnal
ilmiah, karya tulis ilmiah, surat resmi, pidato resmi, dan sebagainya, semua
bentuk komunikasi harus sesuai dengan EYD, sedangkan dalam situasi informal
digunakan bahasa Indonesia yang digunakan seperti dalam pembicaraan antara
penjual dan pembeli di pasar, bentuk komunikasi tidak harus sesuai dengan EYD.
Seperti halnya saat kita dalam berpakaian, tentu saja kita akan memakai setelan
baju sesuai dengan acara yang akan kita ikuti, kita akan memakai seragam
sekolah saat kita sekolah, baju renang saat berenang, baju kondangan (baju
batik misalnya) saat kita menghadiri resepsi pernikahan, baju santai (kaos)
saat santai, baju tidur saat kita tidur, bahkan (laki-laki) akan menambahkan
dasi yang bagus pada saat menghadiri pertemuan resmi, dan sebagainya.
Jadi pengertian Bahasa
Indonesia yang baik dan benar ialah bahasa Indonesia yang digunakan menurut
medianya, situasinya, penuturnya, bidang persoalannya. Kita tidak cukup
menggunakan media lisan, tetapi media tulis ketika kita memberitahukan ijin
untuk tidak masuk kuliah karena sakit. Media ini lebih efektif, jelas, dan
dapat dipercaya karena “hitam di atas putih” atas nama orang tua atau dokter.
Demikian halnya sebaliknya ada saat-saat dimana kita jauh lebih tepat
menggunakan media lisan disbanding media tulis, misalnya saat kuliah tatap
muka, wawancara, pidato, ngobrol, dan sebagainya.
Jika situasinya formal
maka bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan EYD dan KBBI, namun
jika situasinya nonformal bahasa Indonesia tidak harus sesuai dengan EYD dan
KBBI. Maksudnya, tidak mungkin seseorang saat di pasar menggunakan bahasa yang
sesuai dengan aturan EYD dan KBBI, akan terlihat aneh, sebaliknya tidak mungkin
juga seorang presiden menyampaikan pidato resmi atau mahasiswa yang menulis
Karya Ilmiah dengan bahasa sehari-hari. Bahasa gaul atau bahasa alay merupakan
salah satu ragam bahasa Indonesia. Bahasa alay akan baik dan benar jika
digunakan dalam situasi nonformal dalam komunitas tertentu, dalam jejaring
sosial facebook
atau twitter
misalnya, namun akan salah saat bahasa alay masuk dalam ranah formal.
Jika penutur dan mitra
tuturnya memiliki hubungan yang akrab, maka bahasa yang digunakan pun akan
berbeda ketika meraka kurang akrab, bahkan tidak akrab. Ketidakakraban antara
penutur dan mitra tutur membuat jarak bahasa, artinya penutur dan mitra tutur
akan menggunakan ragam bahasa yang lebih formal, bukan ragam sehari-hari. Jika
kita bandingkan dalam bahasa Jawa, sangat dimungkinkan seorang penutur akan
menggunakan ragam kromo saat bertemu dengan mitra tutur yang tidak akrab
dengannya, namun akan menggunakan ragam ngoko jika hubungan keduanya lebih
akrab. Dalam bahasa Indonesia tidak memiliki tingkat tutur dalam bahasanya,
namun ragam bahasa yang dipengaruhi oleh media, situasi, penutur, dan bidang persoalan.
Sangat dimungkinkan seseorang ketika dalam pembicaraan (ragam)
resmi, muncul bentuk-bentuk bahasa nonformal. Misalnya saja seorang pengajar
(dosen) yang sedang menyampaikan materinya tidak mungkin hanya dengan bahasa
resmi saja, pasti akan muncul bentuk-bentuk nonformal dalam prakteknya. Bahkan
tidak hanya ragam tidak resmi, bentuk-bentuk campur kode (campur dengan bahasa
lain) dan alih kode (alih dalam bahasa lain) juga sering muncul. Dalam hal ini
tujuan pengajaran yang hendak dicapai, sehingga mahasiswa dapat menangkap dan
memahami materi yang disampaikan, ini yang disebut dengan “tujuan didaktis”.
Contoh Menggunakan Bahasa Indonesia yang Baik
dan Benar
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat
diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping
itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik
dan benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan
dan kebenaran. Bahasa yang diucapkan bahasa yang baku.
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan
situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal
penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan
bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari
dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa
seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang
tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan
bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.Contoh:
- Dosen memberi tahu info kepada mahasiswa.
- Paman mengendarai mobil kesayangannya.
- Adik ke sekolah menggunakan sepeda.
- Ari menjatuhkan sesuatu ke tempar sampah.
- Ibu berangkat ke Bandung.
2. Berikan contoh fungsi Bahasa sebagai alat komunikasi.
Fungsi Bahasa
Fungsi Bahasa
Menurut Felicia (2001 :
1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering
digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya
kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk
mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya,
sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa.
Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Contoh :
Bahasa sebagai Alat Ekspresi
Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni
ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa
hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi
dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa,
baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis
mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun
adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya
dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk
mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya,
tulisan kita dalam sebuah buku,
merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak
memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita
tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan
tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir
kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang
berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita
kepada teman kita.
Pada saat menggunakan
bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu
mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya,
pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk
kepentingannya pribadi. Fungsi ini
berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk
berkomunikasi.
Sebagai alat untuk
menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang
tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan
kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
- agar
menarik perhatian orang lain terhadap
kita,
- keinginan
untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian
berkembang sebagai alat untuk menyatakan
dirinya sendiri.
Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh
dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita
tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari
dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang
dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi,
bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan
memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur
berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa
depan kita.
Bahasa sebagai Alat Integrasi
dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan,
memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka,
mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar
berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien
melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap
orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya,
serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh
mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya.
Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan
masyarakatnya.
Bahasa
sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa
sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat
diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan,
informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran
dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat
kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan
contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi
ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti
diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan
layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan
bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang
memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru,
perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak
dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang
sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita.
Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada
akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat
persoalan secara lebih jelas dan tenang.